Friday, October 30, 2009

The History Of Dangdut Music

PERJAJALANAN irama melayu mempunyai saat-saat yang dramatis. Biduan S Effendi pada deka tahun 1960-an berhasil mengembalikan supremasi irama melayu dari Malaysia ke Indonesia. Lewat lagu Bahtera Laju ia menempatkan dirinya sebagai pelantun irama melayu paling atas negeri ini. Ia tidak saja menyingkirkan popularitas P Ramlee, penyanyi irama melayu dan bintang film dari negeri tersebut, namun juga merebut penggemarnya. Ramlee yang mengaku keturunan Aceh itu beberapa tahun sebelumnya pernah berjaya antara lain lewat lagu Engkau Laksana Bulan dan Azizah. Selama beberapa tahun irama melayu berkiblat ke sana. Apalagi Ramlee juga membintangi beberapa film layar lebar. Popularitasnya di sini jadi makin subur. Semua yang berbau Ramlee menjadi tren di sini.

Effendi pada mulanya penyanyi lagu-lagu gambus bersama orkes gambus Al Wardah. Maklum ia keturunan Arab asal Bondowoso, Jawa Timur. Suaranya kemudian sering terdengar lewat RRI Jakarta. Dengan iringan orkes studio Jakarta pimpinan Syaiful Bahri namanya mulai menanjak lewat lagu-lagu karangannya sendiri: Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga. Populari-tasnya kian melejit lewat lagu Semalam di Malaya (karangan Syaiful Bahri) dan Diambang Sore (Ismail Marzuki). Beberapa saat kemudian ia membentuk orkes melayu Irama Agung, dan ketenaran Effendi makin menjulang lewat lagu Seroja karangan Husein Bawafie. Suaranya yang melengking tinggi menyapu udara negeri serumpun ini dengan mantap. Effendi meninggal pada 25 April 1983 di Jakarta karena penyakit tua.

"Keberhasilan Effendi sebenarnya merupakan titik kulminasi dari perjuangan para penyanyi lagu melayu negeri ini," tutur Zakaria (66). Zakaria adalah pimpinan orkes melayu Pancaran Muda yang menaruh perhatian besar terhadap perjalanan irama melayu. Menurutnya, biduan A Harris sebelumnya telah memecahkan kebuntuan itu lewat lagu Kudaku Lari, Doa Ibu, Lamunanku, Alam Nirmala, dan Jaya Bahagia yang ditulis dan dinyanyikan sendiri bersama orkes melayu Bukit Siguntang yang dipimpinnya. Apalagi setelah dua filmnya dirilis, Perkasa Alam (bersama Titin Sumarni, artis paling top masa itu) dan Curiga (bersama artis Zunaidah dari Malaysia yang kemudian menjadi istrinya). Lima belas tahun kemudian A Harris inilah yang menyutradarai Rhoma Irama dalam film Penasaran.

Sukses lagu Seroja menarik minat sutradara Nawi Ismail untuk menokohkan Effendi ke dalam film dengan judul yang sama. Setelah itu sutradara Asrul Sani juga menarik Effendi membuat film Titian Serambut Dibelah Tujuh. Langkah ini jelas makin memperkokoh pamor Effendi di sini dan di negeri jiran. Sama seperti halnya tatkala Ramlee masih dipuja di sini, pamor Effendi di sana juga menumbuhkan banyak penggemar.

Sayembara "mirip bintang" yang diselenggarakan di sini berhasil memilih Ridwan Amin sebagai vokalis yang suaranya mirip Effendi. Dan ketika tiba saatnya pencarian penyanyi yang vokalnya mirip suara Effendi di Malaysia, terpilih Achmad Zais. Namun, Zais lebih beruntung karena ia sempat diduetkan dengan Effendi ketika Effendi berkunjung ke sana dalam lagu Jumpa Mesra. Penampilan terakhir Effendi di layar perak adalah lewat film Pesta Musik Lobana karya Misbah Yusa Biran. Di sini ditampilkan beberapa band remaja top masa itu karena eranya telah bergeser dari irama melayu ke musik hiburan. Dan sejak itu nama Effendi juga mulai terpinggirkan. Di dalam film ini Zakaria ikut main marakas bersama orkes melayu Irama Agung pimpinan Effendi.

"Awarahum"

Kalau ditarik garis ke belakang, sejak dekade 1950-an, Indonesia memiliki nama-nama yang cukup terkenal sebagai penyanyi melayu. Sebut saja Emma Gangga, Hasnah Thahar, Juhana Satar, Suhaemi, A Chalik, M Syaugi, dan A Harris. Yang disebut terakhir ini pernah mencuri perhatian publik irama melayu lewat lagu India, Awarahum, dan Munif Bahasuan menyanyikan lagu O Petaji. Kedua lagu itu sampai kemari lewat film yang dibintangi Raj Kapoor bintang film India paling top masa itu.

Mereka yang berkibar pada dekade 1960-an adalah Ellya Agus, Ida Laila, A Rafiq, M Mashabi, Munif Bahasuan, Elvie Sukaesih, Ahmad Basahil, Muchsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S. Periode 1970-an menetaskan Rhoma Irama, Elvie Sukaesih, dan Mansyur S sebagai raja, ratu, dan pangeran dangdut.

Sedangkan orkes melayu dan pimpinannya yang terkenal pada 1950-1960 adalah OM Sinar Medan pimpinan Umar Fauzi Aseran (yang merupakan leburan orkes gambus Al Wardah), OM Kenangan pimpinan Husein Aidid (leburan orkes gambus Al Waton), OM Bukit Siguntang pimpinan A Chalik, dan OM Irama Agung pimpinan S Effendi (1950-1960), pada periode ini di jalur musik hiburan muncul grup band Dolok Martimbang, Riana, Teruna Ria, Eka Jaya Combo, Koes Bersaudara, dan Los Suita Rama.

Selanjutnya pada dekade 1960-an ke atas adalah OM Sinar Kemala pimpinan A Kadir, OM Kelana Ria pimpinan Adi Munif, OM Chandralela pimpinan Husein Bawafie, OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria, dan OM Ria Bluntas pimpinan Ahmad Basahil. Sampai pertengahan dekade 1970-an tercatat OM Purnama pimpinan Awab Abdullah, dan OM Soneta pimpinan Rhoma Irama.

Orkes Melayu Bukit Siguntang banyak melahirkan lagu-lagu hit seperti Burung Nuri (A Chalik) dan Dunia (Suhaemi). Sedangkan Munif Bahasuan juga pernah ngetop lewat lagu karangannya sendiri berjudul Bunga Nirwana.

Orkes melayu benar-benar terdesak dengan hadirnya musik rock pada era 1960-an. Jalur pop disemarakkan oleh band remaja dengan peralatan musik mutakhir kala itu, Fender seperti Teruna Ria (pimpinan Zaenal Arifin), Eka Jaya Combo (Rudy Rusadi), Eka Sapta (Bing Slamet), dan Koes Bersaudara (Tony Koeswoyo). Tolok ukur keberhasilan mereka ini adalah tampil di Istora Senayan, sedangkan musik melayu masih tetap di pinggiran. Kiprah mereka hanya sampai di resepsi perkawinan. Mainnya pun masih duduk, kecuali penyanyinya yang berdiri. "Pada masa inilah saya pindah ke rumah Bing Slamet di Gang Arimbi. Saya belajar mengarang lagu pop melayu," kenang Zakaria yang menjadi narasumber tulisan ini. Luciana adalah karya pertamanya yang bertema pop melayu. Lagu ini dinyanyikan Lilis Suryani dengan iringan musik Idris Sardi. Luciana adalah salah seorang anak Bing Slamet yang biasa dipanggil Uci.

Sejak itu jenis irama pop melayu menjadi tren. Beberapa penyanyi pop papan atas mendulang sukses di sini, seperti Ida Royani (Sado Angkasa karya Aman Doris dan Jangan Duduk di Depan Pintu-karya Zakaria). Sukses kemudian diraih Ida Royani karena setelah menyanyikan lagu Jangan Duduk di Depan Pintu ia berduet dengan Benyamin dalam lagu-lagu bertema gambang modern yang menjadikannya terkenal. Tak ketinggalan Mus Mulyadi membawakan lagu Hitam Manis-karya R Asmi dan Seminggu di Malaysia-karya Zakaria. Hampir semua band yang dikenal sebagai pembawa jenis sebagai pembawa jenis musik pop terjun kedalamnya. Sebut saja Koes Plus, Bimbo, De Lloyd merekam lagu-lagu pop melayu. Sejak itu Remaco mengharuskan semua grup musik yang rekaman di sana untuk memasukkan satu lagu pop melayu dalam albumnya. Tugas ini dipercayakan kepada Zakaria. Pada masa inilah muncul nama-nama beken seperti Tetty Kadi (Kasih Diambil Orang) Rhoma Irama (Anaknya Lima berduet dengan Inneke Kusumawati), dan Titiek Sandhora (Boleh-boleh Jangan dan Pura-pura Benci). Semua lagu itu buah karya Zakaria.

Puncaknya adalah tatkala Ellya Agus menyanyikan lagu karangannya sendiri Kau Pergi Tanpa Pesan dan Munif Bahasuan menyanyikan lagunya sendiri Bunga Nirwana di Istora Senayan dengan iringan band paling top masa itu Eka Sapta pimpinan Sapta Tunggal binaan Bing Slamet. Acara ini mendapat perhatian besar dari masyarakat ibu kota karena menampilkan penyanyi top masa itu seperti Tetty Kadi, Ernie Johan, Lilis Suryani, Pattie Bersaudara, Tom & Dick dan tak ketinggalan Idris Sardi dengan biola mautnya.

Peristiwa itu menjadi istimewa karena untuk pertama kalinya sebuah band mengiringi penyanyi melayu sehingga dianggap sebagai come back-nya irama melayu dalam blantika musik Indonesia dan untuk pertama kalinya pula sistem playback diperkenalkan kepada masyarakat. Kebetulan Zakaria bertugas sebagai pemutar pita playback karena statusnya sebagai orang Remaco.

Lagu Kau Pergi Tanpa Pesan kemudian direkam Remaco dengan iringan orkes melayu Chandralela pimpinan Husein Bawafie dan terkenal luas karena menjadi makanan empuk radio-radio amatir yang waktu itu juga sedang boom di negeri ini.

Tahun 1968 juga mempunyai nilai istimewa buat irama melayu. Orkes Melayu Pancaran Muda pimpinan Zakaria manggung di Istora Senayan berdampingan dengan band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin dalam rangka ulang tahun RRI. Lilies Suryani saat itu sedang ngetop lewat lagu Bulan Purnama menjadi andalan Pancaran Muda di samping Juhana Satar, R Sunarsih, Elvie Sukaesih, dan Zakaria sendiri. Sedangkan Zaenal Combo mengiringi Tetty Kadi, Alfian, Ernie Johan, dan Patty Bersaudara. Zakaria malam itu berperan sebagai arranger.

Pada kesempatan itulah, tutur Zakaria, "Untuk pertama kalinya sebuah orkes melayu main dengan posisi berdiri dengan menggunakan alat musik modern, yaitu Fender."

Rhoma memang hadir pada saat yang tepat dan ia mampu memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Ia melakukan perombakan besar-besaran dalam hal instrumentasi, syair, dan sebagainya. "Ia mengubah instrumen melayu dari akustik ke elektrik," tutur Mansyur S, penyanyi dangdut lainnya yang memulai kiprahnya dari Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.

Dampaknya, irama melayu memperoleh muaranya menjadi dangdut. Istilah itu diambilkan dari suara gendang yang menjadikan irama ini memiliki ciri khas karena mengundang orang untuk bergoyang. Rhoma menuliskan hal itu dalam lagu Terajana sebagai berikut: lagunya lagu melayu/ sulingnya sulit bambu/dangdut suara gendang/rasa ingin bergoyang....

Untuk bisa berbuat seperti itu, tentu bukan pekerjaan orang baru. Irama telah menekuni irama melayu dan hiburan sekitar lima tahun. Sejak tahun 1960 ia sudah menyanyi dengan berbagai grup musik melayu. Kesempatan pertama merekam suaranya baru diperoleh pada tahun 1960 bersama orkes melayu Chandraleka pimpinan Umar Alatas. Namun karena rekaman ini tidak berhasil mencuatkan namanya, ia pun pindah ke orkes melayu Purnama pimpinan Awab Abdullah. Belum puas, ia pun pindah ke orkes melayu Pancaran Muda pimpinan Zakaria yang merekam suaranya lewat lagu Di Dalam Bemo karya Zakaria berduet dengan Titing Yani. Dan sampai awal dekade 1970-an namanya masih tetap belum dikenal masyarakat. "Ia masih berada di bawah bayang-bayang Muchsin Alatas," kenang Zakaria.

Persentuhannya dengan musik hiburan terjadi ketika ia merekam lagu Anaknya Lima karya Zakaria bersama band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin. Di sini ia berduet dengan Inneke Kusumawati. Kemudian ia berkolaborasi dengan band Galaxi pimpinan Yopi R Item yang beraliran rock.

Merasa telah memperoleh bekal yang diperlukan ia pun lantas membentuk orkes melayu Soneta pada awal tahun 1973. Ternyata ini merupakan langkah awalnya yang baik. Ramuan dangdut dan rock pun diluncurkan. Itu terekam dalam lagu-lagu karyanya. Yang cukup menonjol adalah lagu Viva Dangdut.

Selanjutnya anak kedua Raden Burda Anggawirya ini mentahbiskan grup musiknya itu sebagai Sound of Muslim. Dari sini tampak jelas kubu yang dipilihnya. Diluncurkannya syair-syair yang bernapaskan keagamaan meski tidak sekental milik grup-grup kasidah yang juga bermunculan pada dekade itu seperti Nasida Ria pimpinan Mudrikah Zain atau Qasidah Modern pimpinan Rofiqoh Darto Wahab. Mereka ini berhasil mencuri perhatian masyarakat lewat lagu Perdamaian dan Perdamaian II.

Raja itu pun hadir di tengah kegetiran, namun tidak menghalangi arus deras karya-karyanya yang menyeruak ke atas, menggiring musik pinggiran itu sebagai musik kebanggaan nasional. Dia tidak begitu saja masuk dalam keliarannya musik rock. Sound of Muslim yang dicanangkannya berupaya mencegah hal itu. Hasilnya, syairnya meski tetap duniawi tetapi ada solusinya, ada nasihatnya, dan ada dakwahnya.

Setelah makan waktu sepuluh tahun musik dangdut berhasil menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Ia pun menyandang gelar sebagai pemegang identitas bangsa. Pada dekade 1980-an musik dangdut telah mampu merepresentasikan nilai-nilai universal yang ada di masyarakat.

Nilai universal yang dimaksud Irama adalah masuknya idiom-idiom kehidupan masyarakat umum yang tak pernah disentuh oleh jenis musik lain. Coba simak judul-judul lagu dangdut ini: Colak-colek (Camelia Malik), Senggol-senggolan (Koes Plus), Ayah Kawin Lagi (Muchsin), Tangisan Malam Pengantin (Iis Dahlia), Mandul (Rhoma Irama), Pelaminan Kelabu (Mansyur S), Takut Sengsara (Meggi Z), Qur'an dan Koran (Rhoma Irama), Gadis atau Janda (Mansyur S), dan Jandaku (Imam S Arifin). Jauh sebelum itu dangdut telah bicara soal anak tiri (Ratapan Anak Tiri karya Mashabi).

Identik

"Dangdut musik yang realistis dan akomodatif. Ia mampu mengangkat nilai-nilai kehidupan yang riil di masyarakat. Aspek-aspek yang tumbuh di masyarakat diangkat," ujar Rhoma. Musik kampungan itu telah menembus tembok-tembok tinggi orang gedongan.

"Saat ini dangdut sudah sampai pada taraf identik dengan bangsa Indonesia," kata Rhoma, Maret lalu, di rumahnya di kawasan Pondok Jaya, Jakarta Selatan. Tolok ukurnya, dangdut dikenal mulai dari gang becek sampai hotel bintang lima. Ia mengacu pada perumahan-perumahan kumuh di pinggir kota dan hotel-hotel mewah berbintang lima di jantung kota besar. Itu yang di dalam negeri. Di luar negeri tolok ukurnya adalah tampilan kaset yang berisi rekaman keroncong, dangdut selalu diberi label This is Indonesia.

"Tak ada pesta tanpa dangdut," katanya tegas. Pesta yang dimaksud Irama adalah segala jenis pesta, baik pesta kawin, resepsi, diskusi, reuni, sampai pada pesta kaum selebriti.

Rhoma bertutur bagaimana rekaman bajakan pertunjukan malam tahun barunya di Taman Mini meluncur pada pagi harinya. Padahal, ia belum menyentuh sama sekali rekaman itu. Tentu saja ia sangat dirugikan dengan ulah para pembajak. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, di balik itu ia menyaksikan kenyataan betapa sesungguhnya musik dangdut memang sangat digemari masyarakat. Rekaman itu laris di pasaran. Masalah bajakan inilah yang menjadi bisul sampai hari ini sehingga tidak memungkinkan terungkapnya posisi klasemen musik dangdut di masyarakat. "Delapan puluh persen dari jumlah produksi rekaman musik dangdut di pasar adalah bajakan, yang legal hanya dua puluh persen," ujarnya.

Roda waktu terus bergulir. Rhoma pun terus mengukir sejarah. Namun faktor usia perlu jadi perhatian. "Nasib dangdut selanjutnya saya serahkan kepada para praktisi dangdut. Mampukah mereka meneruskan langkah ini. Mampukah mereka menduniakan musik dangdut?" tanyanya. "Kalau tidak mampu, minimal mempertahankan prestasi yang sudah dicapai."


* Bill Aribowo Pengamat musik

No comments:

Post a Comment